Diidentifikasi1 hingga 3 dari 1000 bayi baru lahir di Amerika Serikat kehilangan pendengaran yang signifikan pada kedua telinganya. Bayi-bayi yang berisiko kehilangan pendengarannya ini antara lain yang lahir dengan terinfeksi rubela (campak Jerman), virus sitomegalia (Citomegalovirus/CMV), sifilis dan herpes, mengalami cedera kepala dan leher, mengalami “kuning” yang berat (hiperbilirubin), serta dalam keluarga ada riwayat yang mengalami kehilangan pendengaran di masa kanak-kanak, dan mereka yang dilahirkan prematur.
Deteksi dini pendengaran
Pendengaran sangat penting bagi anak untuk proses penguasaan bahasanya. Hilangnya pendengaran seringan apa pun dapat berdampak besar pada kemampuan anak dalam memahami perkataan dan berkomunikasi.
Bayi yang terlahir sehat dengan pendengaran yang baik akan bereaksi ketika mendengar bunyi. Indera pendengaran tampaknya berkaitan erat dengan ekspresi bayi. Pada umumnya bayi yang sehat akan mengedipkan matanya dan terkejut sewaktu mendengar suara keras. Ia juga dapat membedakan berbagai volume suara. Bunyi yang lembut seperti irama musik atau suara ibu biasanya akan membuat bayi tersenyum. Sedangkan bunya yang keras dan kasar/menghentak umumnya membuat bayi menangis. Asal tahu saja, suara ibu adalah suara kesukaan bayi baru lahir. Sepertinya, bayi pun senang mendengar langsung suara ibu yang selama ini didengarnya dari dalam kandungan.
Masalah hilangnya pendengaran pada masa kanak-kanak umumnya tidak kentara dan tanpa terdeteksi hingga anak berusia 24–30 bulan, yaitu saat kemampuan bicara anak tidak berkembang normal. Saat inilah biasanya orang tua mulai lebih detail memerhatikan pendengaran anak. Itu sebabnya, bayi baru lahir sangat dianjurkan untuk menjalani tes pendengaran.
Salah satu tes sederhana dan tidak mengganggu kenyamanan bayi baru lahir adalah tes emisi otoakustik (otoacoustic emissions test, OAE). Tes ini mengukur gelombang bunyi yang dihasilkan dalam rumah siput (telinga bagian dalam) dalam merespons bunyi klik atau yang bergemuruh. Gelombangnya direkam dan dianalisis oleh komputer, kemudian dinilai oleh seorang ahli audiologi. Terkadang OAE tidak cukup untuk mendeteksi gangguan pendengaran anak, khususnya pada bayi prematur atau yang mengalami riwayat “kuning” (hiperbilirubinemia) sehingga perlu dikombinasi dengan pemeriksaan Auditory Brainstem Evoke Response (ABR). Apabila bayi diduga mengalami gangguan pendengaran, ia harus menjalani tes berikutnya pada usia 3–6 bulan.
Klik next untuk mengetahui jenis kehilangan pendengaran pada bayi